Relawan Asap | Beberapa hari lalu, kita membaca di media-media
online, para mahasiswa di Riau mengancam Jokowi, jika dalam 3 X 24 jam
asap tak lenyap, sila mundur dari kursi kepresidenan. Berita semacam itu
banyak ragamnya. Termasuk yang hendak memisahkan dari NKRI, menunggu
Jokowi lempar handuk dan baru ngomong; ‘serahkan pada kami’. Itu konon
semua berita luar biasa.
Media online jarang menampilkan berita
yang biasa-biasa saja, mengenai orang-orang atau anak-anak muda yang
bekerja diam-diam, seperti Prof. Wenten di Bandung dengan
air-purifiernya, atau anak-anak muda di Sekolah Relawan, Komunitas
Jumpun Pambelom, Sedekah Oksigen, BantuKorbanAsap.Org
di daerah-daerah bencana. Kita terbiasa dengan berita-berita yang
ingar-bingar, sampai imun rasanya, hingga tak peka penting tidaknya.
Di kawasan hutan Tumbang Nusa, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, kita
bisa temui anak-anak muda sedang sibuk membikin sumur-sumur bor. Mereka
bertekad membangun 100 titik sumur bor. Ini kumpulan anak muda yang
beragam. Ada guru, mahasiswa S1, S2, fasilitator outbound, karyawan,
pemilik toko outdoor, mantan guru SLB, dan masih banyak lagi.
Anak-anak muda yang tergabung dalam Sekolah Relawan, yang di-inisiasi
Gaw Bayu Gawtama itu, bahu-membahu dengan berbagai komunitas relawan.
Mereka meyakini; Sumur bor di wilayah hutan sangat bermanfaat untuk
antisipasi meluasnya kebakaran. Mereka sedang membuat sumur-sumur bor
baru di tengah hutan dan kawasan hutan lainnya. Sumur bor inilah salah
satu cara warga lokal menghadapi kebakaran hutan.
Di antara
mereka ada juga korban asap pembakaran hutan dan lahan, tapi mereka
lebih memilih bertindak daripada mengeluh dan menghujat. Seperti Hendra
(17) dan Daniel (15, yang termuda dan pakar gambut), dua remaja
kakak-beradik yang sudah dua bulan bersama relawan lokal Jumpun Pambelom
bekerja keras angkat selang, pipa, mesin untuk membuat sumur bor di
hutan-hutan wilayah Kalimantan Tengah. Ada juga Yanto, kelahiran 1995,
drop out dari SMP kelas 2, karena tak ada biaya. Ia anak Dayak yang
membantu menjadi penerjemah para relawan yang datang dari berbagai
daerah.
Ada juga orang-orang yang tak terlihat di lapangan
seperti Roel Mustafa, pengusaha keturunan Betawi yang tinggal di Depok
(Jabar). Dukungannya atas tim sangat luar biasa. Waktu, tenaga, koneksi,
dan juga dananya. Ia mengantar belanja perlengkapan pemadaman, juga
berbagai kebutuhan anak-anak di lapangan, termasuk memprovokasi
teman-temannya untuk mau membantu tim.
Ada juga Eko Subiyantoro,
Forest Ranger di Banjarbaru yang masih dalam proses penyembuhan pasca
kecelakaan. Ia menyambungkan tim lapangan dengan pihak-pihak di Kalteng.
Rumahnya juga jadi tempat transit semua relawan dan barang-barang
anak-anak Sekolah Relawan dan Sedekah Oksigen.
Belum lagi
Hunggul Prihono, mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin,
mantan guru SLB, rela berkubang lumpur kotor air hitam. Sudah hampir
sebulan ia bergulang di tengah hutan. Tak peduli badannya yang
kerempeng, melakukan aktivitas pemadaman dan membuat sumur bor. Ia
sanggup kerja keras memadamkan api sampai larut malam, jam 02 dini hari
bahkan, selain kepiawaiannya menggunakan drone untuk pemetaan. Dia
datang menjadi relawan setelah membaca aktivitas Sekolah Relawan di
medsos. Jadi, medsos tak hanya untuk caci-maki ‘kan? Kan!
Namanya
juga relawan, mereka bergerak suka-rela, atas dasar bantuan darimana
saja, untuk mengatasi masalah kebakaran hutan dan asap. Mereka butuh
donasi untuk menunjang kebutuhan lapangan, baik berupa uang, barang,
akomodasi. Untuk memulai pembuatan sumur bor, relawan menancapkan meter
demi meter pipa besi berukuran 1inci dengan kedalaman pipa bisa mencapai
30 meter.
Pipa besi akan dihentikan ketika pipa telah menembus
lapisan pasir kasar. Lapisan pasir kasar merupakan indikator lapisan
yang banyak mengandung air. Itu kearifan lokal untuk mengetahui lapisan
air di tanah gambut.
Kelelahan terbayarkan saat air mengucur
dengan deras. Itulah kerja keras anak-anak Sekolah Relawan, dan berbagai
komunitas lainnya, untuk mendukung perlawanan api dan asap. Inisiasi
masyarakat ini, layak diapresiasi. Termasuk oleh pemerintah dan fesbuker
tentunya. Karena keduanya sering terlihat terlalu cerewet.
Pasti cerita semacam di Kalimantan Tengah ini, juga bisa kita temui di
beberapa daerah, di Riau, Palembang, Pontianak, Papua dan lain
sebagaimana di mana terjadi bencana. Hanya sering kita tidak membacanya,
karena memang tidak dituliskan.
0 Response to " Relawan Asap"
Post a Comment